Menanamkan kecintaan anak pada buku bukan proses yang singkat. Butuh kesabaran, keteladanan dan pembiasaan dari orangtua agar anak dapat mencintai buku dan membuat aktivitas bersama buku menjadi sesuatu yang menyenangkan.
Begitupun yang saya rasakan. Saya dibesarkan di lingkungan yang kurang familiar dengan buku. Namun saat SD dulu, majalah Bobo berhasil menarik minat saya untuk membaca. Mulai dari cerpen, cerbung, komik, permainan hingga soal-soal latihan pelajaran yang ada di dalamnya. Soal latihan? Ya, se-excited itu saya menunggu soal latihan dari majalah Bobo yang saat itu terbit dua kali seminggu. Entah kenapa itu menjadi ajang saya belajar dan membandingkan apa yang saya pelajari di sekolah dengan latihan yang ada di majalah itu. Sering saya merasa soalnya terlalu sulit dan belum pernah saya tau. Akhirnya saya nggak sabar menunggu kunci jawaban di majalah Bobo edisi selanjutnya.
Beda lagi dengan suami yang sejak kecil dibiasakan sang ayah dengan buku. Aktivitas tiap hari minggu yang rutin dilakukan adalah membeli buku di pekan (pasar) di kampungnya. Sekali beli bukan satu buku, melainkan satu ikat dengan beberapa buku di dalamnya. Biasanya buku komik silat zaman dahulu seperti Wiro Sableng dan teman-temannya. Kebiasaan itu berhasil tertanam di suami yang hingga saat ini bisa dibilang suka sekali membaca.
Dari pengalaman tersebut, kami sepakat untuk menjadikan buku sebagai investasi di keluarga kami. Kami ingin anak kami terbiasa dengan buku dan suka membaca. Bukan semata-mata agar anak kami dianggap pintar, namun lebih ke menanamkan kebiasaan baik untuk anak yang merupakan kewajiban bagi setiap orang tua.
Mulai dari anak pertama, saya sudah membeli buku dengan harga yang cukup mahal bagi kami saat itu. Saya berusaha menyisihkan uang setiap bulannya untuk buku. Alhamdulillah bukunya masih bisa digunakan hingga anak ketiga. Bahkan sudah sering dipinjamkan ke anak-anak tetangga. Sebenarnya nggak harus mahal. Banyak buku bergambar yang lebih murah dan mudah didapatkan di toko-toko buku kecil. Namun bagi saya saat itu, saya ingin punya buku anak yang tahan lama agar bisa digunakan untuk anak saya lainnya. Sering juga saya membeli buku yang harganya murah dan memang terbukti lebih cepat rusak karena gampang robek.
Di awal beli buku pun anak nggak langsung suka. Biarpun mulut saya udah dower membacakan, anak kelihatan lebih suka berlari dan bermain mainan lainnya. Hal itu sempat membuat semangat saya kendor karena sudah banyak membeli buku tapi anak saya masih belum suka dengan buku. Lalu saya mulai belajar untuk memahami proses. Belajar lagi konsistensi dan tidak berharap pada hasil yang instan.
Bertahun-tahun saya tetap membelikan buku untuk anak dan berusaha tetap rutin membacakannya. Anak-anak pun sering melihat ayahnya yang selalu membeli novel dan membaca hingga semalaman. Kebiasaan membaca mulai terlihat beberapa tahun kemudian. Memang kelihatan sekali bedanya. Di anak pertama dan kedua, saya kurang konsisten membacakan buku. Di anak ketiga konsistensi saya bisa bertahan karena ikut komunitas parenting yang selalu mengingatkan tentang buku.
Alhasil, si bungsu paling suka aktivitas membaca. Jajan buku hampir setiap minggu dilakukan bersama ayahnya. Saat ini ia masih suka komik. Hampir semua seri komik anak NexG sudah pernah ia baca. Sekali beli langsung 2-3 buku dan langsung selesai dibaca dalam beberapa jam. Saya hampir nggak percaya dan merasa terharu sekali karena baru melihat hasil dari proses panjang yang saya lakukan selama ini.
Kalaupun saya memberikan gadget dalam waktu-waktu tertentu, saya selalu mengarahkan ke aplikasi baca yang sengaja saya install di dalamnya. Selain itu, kemana-mana saya selalu menyediakan buku. Di mobil, di tas, dalam perjalanan kemanapun, saya usahakan untuk tidak lupa membawa buku agar bisa dibaca si bungsu berulang-ulang demi menghindari tantrum dan bosan selama di jalan.
Ya, buku ibarat sesajen yang bisa menenangkan si bungsu. Sesajen yang juga membuat hati saya senang dengan kebiasaan yang berhasil ditanam selama beberapa tahun. Yang dengannya saya yakin bisa menjadi bekal baik hingga ia dewasa nanti. Ahh... saya melihat kebiasaan baca si ayah yang seolah menurun padanya.
Sementara abang dan kakaknya, sesekali masih suka baca buku. Namun bergantung pada genre dan hal-hal yang menyangkut keseharian mereka. Saya tetap bersyukur si abang yang sudah menyelesaikan serial Bumi-nya Tere Liye yang sudah pernah terbit dan masih menunggu buku selanjutnya. Dan si kakak yang masih setia menanti seri komik Hero Academia kesukaannya. Masing-masing anak memang berbeda, nggak bisa saya paksa harus sama untuk kesukaan pada membaca buku. Saya percaya ada saatnya mereka akan mencintai aktivitas membaca tanpa harus dipaksa.
Tetap ajari anak dengan keteladanan. Orangtua sebisa mungkin mencontohkan. Dan sekali lagi, menanamkan kebiasaan baik itu butuh proses dan tidak ada yang instan. Nikmati saja prosesnya, tambah dengan kekuatan doa. Perlahan tapi pasti, kita akan melihat hasil terbaik dari usaha kita. Selamat berjuang para ibu semua!!!