"Nak, liat tu si A menang lomba sains lho.. Si B menang lomba matematika."
"Terus?"
"Abang nggak pengen bisa menang lomba juga? Abang juga bisa kok sebenernya."
"Nggak ah. Ngapain juga. Yang penting abang tau abang bisa. Malas abang ikut-ikut lomba."
-------
Ihh... punya anak kok nggak ada dikit pun jiwa kompetisinya sih? Padahal wajar kan ya mamak pengen anaknya jadi juara? Apalagi dari dulu saya orang yang tergolong ambisius ama ranking di kelas. Kalo diingat sejak masuk SMP. Waktu SD sih biasa aja, nggak pernah ranking 1 kecuali saat lulus-lulusan. Tapi dari dulu kalo mau ujian, belajar saya memang ekstra. Pengen aja dapat nilai terbaik.
Trus liat anak sendiri komentarnya kayak tadi tuh rasanyaaa.. jlebb!!
Kok bisa dia tenang aja liat ada orang punya prestasi gitu? Nggak greget pengen ikut juga. Padahal saya yakin banget dia mampu. Ckckck..
Tiba-tiba langsung ingat..
Ayahnya juga gitu. Misalnya aja soal sekolah. Saya tau kemampuan suami sendiri. Dia itu sebenarnya mampu untuk ambil S3 di luar negeri dengan beasiswa. Tapi tiap kali ditantang untuk ikut beasiswa, dia langsung nolak. Alasannya nggak mau jauh-jauhan lagi dari keluarga. Udah capek dari dulu sering ngerasain LDM an. Padahal kan kami bisa ikut, saya ambil cuti atau resign sekalian.
Atau untuk ikut lomba kepenulisan. Yang saya tau kemampuan menulis suami itu mumpuni sekali untuk ikut lomba. Kan lumayan buat dapat receh-receh dari tulisan. Nambah uang jajan saya, xixi... Dulu beberapa kali tulisannya masuk di kolom opini koran Bola kesukaannya. Sekarang udah nggak terbit lagi korannya. Wajar aja karena memang dia suka baca dan suka nonton pertandingan bola.
Tapi.. tetap aja dia ogah. Saking gregetnya saya sampe bilang "Kok ayah gak ada ambisi sama sekali sih dalam hidup?"
Nah... sama kan ama anak lajangnya. Nggak ada ambisi sama sekali untuk jadi juara. Padahal mereka berdua sering dapat urutan pertama sampe lima besar di kelas.
Saya pernah ngobrol sama suami juga tentang hal ini. Si abang bisa dibilang punya karakter yang copy paste dari ayahnya. Dia cuma ketawa ketiwi. Dia malah bilang itu bagus. Bukannya nggak ada kemauan untuk maju, tapi mereka menikmati prosesnya. Nggak mau show off kalo mereka bisa. Cukup diri mereka aja yang tau. Sesederhana itu. Dan mereka bahagia karena nggak ada tekanan.
Beda ama saya yang memang ambisius untuk nilai. Padahal orangtua saya dulu nggak pernah maksa sama sekali. Keinginan itu murni dari diri saya sendiri yang sempat mikir cuma kepintaran akademis yang bisa jadi jalan ninja untuk bisa eksis. Saya introvert, nggak cantik, kurang bisa dekat ama orang, nggak ada kelebihan keknya. Makanya saya harus pintar, harus ranking biar saya tetap dikenal.
Nah,, itu masalah innerchild yang pelan-pelan mulai saya hilangkan. Menghilangkan pemikiran bahwa saya nggak punya kelebihan apa-apa kalo nggak jadi juara. Padahal saya memiliki kemampuan lain yang bisa menunjukkan eksistensi diri. Contohnya dengan menulis kayak gini. Biarpun kualitas tulisan saya masih perlu ditingkatkan, minimal saya mencoba untuk konsisten dan menikmati prosesnya. Sama seperti yang dirasakan oleh suami dan anak saya dalam hal apapun.
Beruntung saya punya suami yang selalu mengingatkan. Jadi saya nggak maksa anak juga untuk terbiasa ikut lomba yang dia nggak suka. Saya mencoba menghargai pendapat anak meski saya orangtuanya. Toh kelak kalo dia udah punya motivasi dari dalam diri, dia akan melakukan lebih dari ekspektasi.
Nggak Suka Kompetisi Bukan Berarti Nggak Punya Mimpi
Anak yang nggak suka berkompetisi dan ikut lomba untuk jadi yang terbaik, bukan berarti nggak punya mimpi dan keinginan untuk maju. Mereka hanya ingin menikmati proses tanpa tekanan apapun yang membuat mereka lelah berusaha. Mereka percaya akan ada masanya mereka berada di suatu posisi yang sesuai dengan usaha yang udah dilakukan. Hidup nggak cuma untuk jadi juara, hidup adalah tentang menikmati proses dan bersyukur atas hasil yang diberi oleh Sang Pencipta.
Jlebb banget buat yang ambisius kayak saya.
Dari yang saya baca, harusnya saya bersyukur punya anak yang nggak suka kompetisi. Dia udah punya standar sendiri untuk target yang dicapai. Nggak muluk-muluk harus selalu jadi nomor satu. Kalo targetnya udah sampe, ya udah segitu aja. Hepi-hepi aja dulu, santai dulu. Kalo bisa bantu temen lain yang belum bisa. Besok-besok lanjut lagi, usaha untuk target lain lagi. Biasanya orang kayak gini tuh jarang stres dan depresi.
Beda ama orang yang jiwanya suka berkompetisi. Biasanya mereka punya target untuk jadi yang terbaik, jadi juara, jadi nomor satu. Orang seperti ini rentan sekali untuk depresi kalo nggak jadi juara. Nggak semua lho ya, sebagian besar. Positifnya orang yang berjiwa kompetisi ini jiwanya akan lebih sering ditempa untuk legowo menerima kekalahan dan lebih sportif. Lalu mereka akan berusaha lebih keras lagi untuk bisa menang di kompetisi selanjutnya.
Saya pernah bertanya ke si abang tentang cita-citanya. Dia bilang pengen jadi doktor. Doktor lho ya,, bukan dokter. Pengan kuliah di luar negeri biar bisa mewujudkan mimpi saya untuk ke luar negeri juga. Di satu sisi saya senang, tapi di sisi lain ada suatu ketakutan. Saya takut jika cita-citanya nggak terwujud, dia bisa jadi merasa bersalah dan depresi. Ahh,, mungkin itu cuma overthinking saya aja kali ya. Berdoa yang baik-baik aja lah. Minta ama Allah supaya bisa menjadikan dia orang yang bijak kelak.
Mengutip tulisan Ayah Edy :
Adakah orang yang suka bersaing sehat atau karena selalu bersaing maka hidupnya jadi lebih sehat?
Saya jarang sekali melihat ada orang yang suka bersaing hidupnya sehat dan baik-baik saja.
Tapi jika melihat orang yang "tidak suka bersaing" dan lebih suka membantu orang dan bekerjasama, lalu hidupnya sehat dan baik-baik saja itu banyak sekali.
Jadi, masih mau nyuruh-nyuruh anak ikut kompetisi? Nawarin boleh, tapi maksa jangan. Manatau tiba-tiba dia termotivasi. Minimal buat tes kemampuan. Apapun hasilnya, tetap disyukuri dan dinikmati. Orangtua cuma mengarahkan bukan pengambil keputusan untuk hal kayak gini. Apalagi si abang udah masuk masa pra remaja. Udah saatnya dia memutuskan pilihan dan belajar paham konsekuensi.
Dan ingat ya mak... terima anakmu apa adanya. Tetap jadi dirinya sendiri. Nggak usah dibanding-bandingkan dengan anak lain seusianya. Sekilas gampang, tapi ternyata menerapkannya nggak semudah balikin nugget dalam penggorengan.