Meng-aqil Baligh-kan Anak


Nggak terasa anak-anak saya udah mulai pada gede. Si sulung udah 10 tahun dan si tengah hampir 8 tahun. Dengan atau tanpa disadari, saya semakin tua,, hehe..

Bukann.. bukan itu fokusnya. Usia segitu saya harus udah mulai memikirkan pola yang tepat dalam membersamai masa jelang aqil baligh mereka. Kalau dulu saya pusing karena mereka nempel terus ama saya, sekarang saatnya saya yang mulai harap-harap cemas melepas mereka ke pergaulan dengan teman dan lingkungan. 

Salah satu persiapan saya adalah belajar untuk menghadapi aqil baligh dengan ikut kulgram parenting oleh Ustadz Adriano Rusfi, Psi.

Jadi apa aja sih persiapan yang harus dilakukan dalam meng-aqilbaligh-kan anak menurut ustad Adriano? Salah satunya adalah melibatkan anak dalam masalah.

Libatkan anak dalam masalah

Saya baru punya mobil usia 42 tahun. Rumah baru punya 2 tahun lalu, sebelumnya ngontrak. Dulu saat usia saya 28 tahun, teman-teman saya bilang, “Lu makanya yang fokus dong cari duit.”

Saya cuek saja, saya memilih fokus mendidik anak. Saya percaya dengan prinsip "Life begin at forty". Bagaimana pun waktu bersama dengan anak tidak akan bisa diulang saat anak2 sudah dewasa.

Kalau sekarang teman-teman saya kagum dan bilang, “Lu hebat banget sih?”

Saya sekarang bisa membalas, “Mungkin dulu lu kecepetan fokus sih.”

Karena setelah menikah dan mempunyai anak, saya memilih fokus untuk mendidik anak-anak saya.

Supaya beban finansial saya cepat beres, saya fokus meng-aqilbaligh-kan anak-anak.


Anak saya dari usia SMP sudah menjadi loper koran, membuka jasa servis tamiya, membantu scoring lembar psikotest.

Saya memberikan syarat jika anak meminta sesuatu, maka 10% haruslah memakai uangnya sendiri. Sehingga setiap permintaan anak saya akan dimulai dengan pertanyaan: “Abi ada duit nggak?”

Ketika anak saya ingin sepeda motor, saya katakan, “Bebas boleh pilih yang mana saja, asal 10% uang sendiri.”

Anak saya jadi berpikir juga. Yang 16 juta, harus ada 1,6 juta. Akhirnya anak saya memilih yang 9 juta saja, karena merasa mampu menyediakan 10%-nya. Abi nya senang, anak senang.

Ketika anak meminta barang baru sementara barang yang lama masih bisa dipakai, saya hanya katakan, "Harusnya kamu bersyukur abi sudah belikan yang itu dan kamu masih bisa gunakan itu."

Salah satu cara mendidik anak menjadi Aqil Baligh adalah dengan tidak menyembunyikan masalah dari anak. Rem masa baligh anak dengan membantu orang tua menyelesaikan masalahnya.


Jadi kurang tepat juga ketika mengatakan, “Biar Ayah saja yang menderita, kamu belajar saja yang rajin.”

Itu adalah kalimat kurang ajar. Bukti bahwa si Ayah Egois. Mengapa si ayah tidak mengijinkan anaknya mengikuti jalan suksesnya? Tidak ada sejarahnya orang sukses hanya dari gelimangan kemudahan.

Konglomerat Tionghoa itu sadis-sadis sama anaknya. Kalau anak mereka minta macam-macam, jawabnya “Sudah bagus Bapak kasih segitu.”

Kita saja yang Melayu ini suka memanjakan anak. Ada tetangga saya Tionghoa yang pengusaha kaya raya. Ketika hujan, ia memberikan payung buat anaknya supaya jadi ojek payung.

Ketika anak saya sudah memasuki usia aqil baligh, anak saya beritahu. “Kamu ini sebenarnya sudah bisa abi suruh pindah, tapi sekarang masih boleh tinggal dirumah. Hanya kami statusnya numpang. Numpang makan, numpang tidur. Jadi tahu diri ya sebagai penumpang. Baik-baik sama tuan rumah.”

Maka anak pun akan berusaha mematuhi tata tertib untuk tidak pulang malam, dll.


Hadapkan anak dengan berbagai masalah dan harus mencari solusinya sendiri adalah bagian dari upaya meng-aqilbaligh-kan anak kita. Ajari anak cari uang, ajari anak berorganisasi. Libatkan anak dengan masalah.

Anak mulai bisa diajarkan kemandirian saat usia di atas 7 tahun. Itu sudah fitrahnya. Didik anak dengan penuh optimis, tidak perlu rekayasa. Dan jangan lupa untuk meminta kepada Allah melengkapi kekurangan kita dalam mendidik anak-anak.

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Kalimat life began at forty ini relay banget ama saya. Saya yang menikah di usia yang relatif muda (sebelum 23 tahun) dengan lelaki yang seusia. Dengan masih terbayang mimpi bekerja di perusahaan multinasional, bisa travelling kesana kemari, bisa S2 ambil beasiswa ke luar negeri, tapi harus saya coba ikhlaskan untuk memendam semua mimpi tersebut demi menyempurnakan separuh agama.

Berkali-kali impian itu terbayang, suami selalu mengingatkan untuk bersabar. Menurutnya ada masanya untuk kembali mengejar mimpi-mimpi tersebut hingga bisa bermanfaat bagi orang lain. Saat ini cukup fokus untuk mendidik dan membangun fondasi kuat pada ketiga anak kami.

Suami selalu menceritakan Nabi Muhammad yang baru diangkat menjadi Rasulullah pada usia 40 tahun. Hal itu bisa menjadi contoh untuk saya kembali membangun mimpi saya di usia itu saat anak ketiga saya sudah masuk usia aqil baligh dan masuk SMP. InsyaAllah telah menjadi cambuk pribadi untuk saya fokus ke keluarga dan menomorsekiankan passion, karir dan cita-cita.

Semoga saya bisa mempersiapkan anak-anak saya dengan baik saat masa itu tiba dan kembali membangun mimpi dan cita-cita saya agar lebih bermanfaat bagi orang lain. Amin.

No comments

Post a Comment