Menjadi Working Mom yang Dicintai Keluarga

Working Mom


Siapa yang statusnya saat ini adalah mamak pekerja? 

SAYA!!!!

Menjadi mamak pekerja atau working mom itu pilihan. Buat yang jadi IRT tulen kayak mak Icha juga oke banget lho. Mak icha bukan sembarang emak, dia punya tips untuk cepat lulus kuliah.

Sepuluh tahun sudah saya bekerja di kantor. Diawali dengan mimpi karir yang sesuai dengan passion dan jiwa saya. Harus diakui saya termasuk perempuan yang punya ambisi tinggi. Saya selalu ingin melaksanakan pekerjaan dengan maksimal. Suka dengan tantangan di kantor hingga bisa lupa waktu. 

Hingga awal tahun 2017 prestasi kerja saya cukup melejit. Iming-iming peningkatan karir juga sudah sering didengungkan. Sering disuruh ikut dinas ke luar kota, walaupun cuma jadi asrot alias asisten sorot, haha.. Agenda wajib menyelesaikan laporan audit perusahaan dengan auditor ke ibukota tak pernah terlewatkan walaupun saya pernah dalam kondisi hamil 7 bulan. Tanpa paksaan, murni karena kesadaran tanggung jawab pekerjaan.

Namun akhirnya saya berpikir bahwa saya lupa kesadaran utama dalam hidup yang saya lewatkan. Kesadaran bahwa anak dan suami membutuhkan saya di waktu mereka terjaga. Bukan hanya saat mereka terlelap di malam hari dan saya pun ikut merebahkan diri karena lelah seharian di kantor. Mereka butuh saya membersamai mereka ketika bermain, makan, belajar, membaca, dan lainnya. Hal ini sering membuat saya rasanya pengen resign aja.

Beruntung Allah menggetok kesadaran itu sebelum saya kehilangan lebih banyak momen dengan keluarga saya. Beberapa kejadian yang membuat saya berada di titik terendah mental karir menjadikan saya berpikir akan tujuan hidup sebenarnya. 

Hidup dengan karir bagus dan materi berlimpah dengan mengorbankan kehidupan keluarga, atau hidup dengan dengan karir biasa-biasa saja namun tetap bisa membersamai suami dan anak-anak?

Kalo ditanya sih, pengennya karir bagus, harta melimpah dan tetap punya banyak waktu untuk keluarga, haha.. Emang lo kira lo anak sulthan mak?? wkwk

Sejak saat itu saya mencoba untuk memilih opsi karir biasa-biasa saja namun tetap dekat dengan keluarga. Saya menanam mindset ke dalam diri saya terus menerus kalau karir tertinggi saya adalah di hati suami dan anak-anak saya. Karir di pekerjaan itu nomor ke-sekian setelah tanggung jawab sebagai seorang istri dan ibu dipenuhi. Saya nggak tau kapan umur saya di dunia berakhir. Yang saya tau adalah kelak di akhirat saya akan ditanya kewajiban saya ke keluarga dengan lebih komprehensif.

Dengan pilihan yang saya buat itu, awalnya jiwa saya sempat bergejolak. Lagi-lagi saya tumpahkan keluh kesah ke Sang Pemilik Jiwa, sesekali curcol juga ama temen yang bisa dipastikan bukan golongan lambe turah, wkwk.

Tips Menjadi Working Mom yang Dicintai Keluarga

Bagi sebagian orang, walaupun menjadi ibu bekerja adalah sangat mudah membagi waktu di pekerjaan dan di rumah. Namun bagi saya yang sejak awal mengatur standar kerja cukup tinggi, membutuhkan waktu yang cukup lama untuk beradaptasi dan mengubah standar yang sudah diatur sejak lama.

Lalu bagaimana tips nya?

1. Pahami tujuan bekerja
Bagi saya pribadi, tujuan bekerja di luar pada prinsipnya adalah membantu suami. Ingat ya, MEMBANTU, bukan mengambil peran utama suami untuk mencari nafkah. Walaupun dari segi jumlah gaji bisa jadi seorang istri lebih tinggi daripada suami, tetap harus diingat kalau istri hanya membantu. Memang sih ada pasangan yang sepakat untuk bertukar peran dalam mencari nafkah. Ya terserah aja, selama saling memahami dan menerima konsekuensi. Nggak mau kan kalo gara-gara alasan sibuk mencari uang lalu suami mengeluh karena istrinya jarang di rumah yang ujung-ujungnya berakhir pada cekcok hingga perceraian? Jauh-jauh deh dari keluarga kita.

2. Seimbang 
Saya masih ingin bekerja di luar rumah namun tetap punya waktu dengan keluarga saya. Kalo dihitung, 8 jam kerja di kantor dan 8 jam waktu tidur , maka saya harus tepat waktu pulang ke rumah. Lumayan kan beberapa jam sisanya bisa bermain dan membangun bonding dengan anak-anak. Sabtu minggu bisa full ke mereka juga. Walaupun tidak menutup kemungkinan saya harus tetap stand by jika ada urusan kantor yang mendadak dan saya harus lembur. Masih aman lah kalo sekali-sekali.

3. Waktu Berkualitas
Saat berada di rumah, sebisa mungkin menciptakan waktu yang berkualitas dengan suami dan anak-anak. Dengan suami bisa dilakukan dengan berbincang sambil minum kopi atau pillow talk sebelum tidur. Dengan anak-anak bisa dilakukan dengan bermain, ngobrol, atau membaca buku bareng. Keliatannya gampang. Tapi ternyata banyak juga orangtua yang saat pulang ke rumah malah membiarkan anak main sendiri, nonton atau malah ikutan main gadget. Gimana mau dicintai anak coba, wong mamaknya lebih pilih gadget dan sosmed ketimbang main ama anak-anak.
 
4. Kegiatan Menarik
Sering saat berada di rumah saya malah teringat pekerjaan di kantor yang belum selesai. Padahal namanya pekerjaan ya memang nggak ada selesainya kan? Kecuali udah pensiun. Saya memilih untuk menyibukkan diri dengan kegiatan menarik yang bisa membuat saya bahagia dan jadi momen tersendiri untuk anak-anak. Misalnya dengan memasak makanan yang disukai anak-anak, menanam bunga dan membersihkan rumah. Anak-anak pun bisa ikutan.

5. Berpikir Positif dan Mencintai Diri Sendiri
Agar dapat dicintai, seseorang harus dapat memancarkan energi positif ke orang di sekitarnya. Energi positif akan terpancar jika kita menghargai dan mencintai diri kita apa adanya. Selalu berpikir positif kalau pilihan yang diambil adalah yang terbaik dan menyadari potensi terbaik di diri kita yang dapat diberikan ke keluarga akan membuat hati lebih bahagia. Ingat, bahagiakan dirimu sebelum kau membahagiakan orang lain termasuk keluargamu.

Alhamdulillah, dua tahun lebih masa pencarian jati diri dan tujuan hidup saya jalani. Saya merasa lebih bahagia melewati hari dengan cara-cara tersebut. Saya juga semakin dekat dengan suami dan anak-anak. Saya bisa mencoba hal-hal baru yang sebelumnya nggak pernah bisa saya lakukan karena kesibukan di kantor. Setelah itu semua saya dapat, apa lagi yang saya harapkan?? Banyaakkkkkk.. Sifat manusia emang nggak pernah puas ya, wkwk. #autoistighfar

Fabiayyi ala irobbikuma tukadzziban.

"Maka nikmat Allah manakah yang Engkau dustakan?"

Semoga para working mom tetap menjadi ibu bahagia yang dekat dengan keluarga apapun pilihannya.

Rapid Test dan Swab PCR : Apa Bedanya?

Hai sobat mamak.

Sudah masuk bulan Juli. Memasuki bulan keempat setelah Pemerintah dan seluruh dunia menyatakan adanya pandemi COVID-19. Berbagai data menyebutkan cukup banyaknya korban meninggal akibat terinfeksi virus ini.

Bagi yang punya anak, untuk mencegah infeksi virus COVID-19 dapat dibaca di blog kak Dyah emaknya duo Aura.

Berbagai negara telah melakukan banyak cara untuk menekan penyebaran virus agar tidak semakin meluas. Dari kebijakan social distancing atau di Indonesia disebut dengan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) hingga lockdown di beberapa negara yang berdampak pada kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat.

Kalo dipikir-pikir, siapa sih yang membayangkan dunia akan menghadapi pandemi seperti ini? Mungkin ilmuwan kali ya. Yang jelas nggak ada satu orang pun yang menginginkan kondisi seperti sekarang.

Saya yang notabene seorang ibu bekerja, harus ekstra menjaga diri agar tidak sampai terjangkit virus covid-19. Kebijakan work from home tidak dapat sepenuhnya dijalankan pada posisi dan tanggung jawab saya di kantor. Pekerjaan harus terus berjalan. Masih bersyukur perusahaan masih sanggup membayar gaji seperti biasanya. Jadi mau tidak mau saya harus menghadapi risiko tertular covid-19 karena masih tetap bekerja di kantor.

Protokol kesehatan harus konsisten saya jalankan. Menggunakan masker saat ke luar rumah, tidak mendekati kerumunan atau banyak orang, menjaga jarak aman, hingga selalu mencuci tangan dan membersihkan diri saat sampai di rumah sebelum memegang anak-anak. Imunitas tubuh juga harus terjaga dengan menjaga asupan makanan dan vitamin serta olahraga teratur. Olahraga ini yang berat untuk saya, haha...

Karena perusahaan merasa harus dilakukan skrining massal atau tes covid-19 pada seluruh karyawan di kantor tempat saya bekerja, akhirnya saya pun menjalani tes tersebut.

Seperti apa tes yang sudah saya jalani untuk mengkonfirmasi saya terpapar virus covid-19 atau tidak?


Mungkin sudah sering didengar ada dua jenis tes yang dilakukan, yaitu Rapid Test dan Swab - PCR test.

Apa sih bedanya RAPID TEST dan SWAB PCR Test?

Kalo saya taunya ya rapid test cukup dilakukan dengan mengecek sampel darah yang diambil sebelumnya, sedangkan SWAB PCR test dilakukan dengan mengambil sampel cairan/lendir yang ada di tenggorokan melalui hidung.

Berdasarkan artikel yang saya baca, untuk memahami perbedaan kedua tes tersebut sebaiknya kita tau dulu perjalanan penyakit saat suatu virus masuk ke dalam tubuh kita.

Awalnya saat virus masuk ke dalam tubuh tidak langsung menimbulkan gejala. Virus akan menetap di tubuh hingga menimbulkan gejala, yang disebut dengan masa inkubasi virus. Setelah virus menimbulkan gejala, imunitas tubuh akan melawan infeksi virus tersebut dan mengeluarkan antibodi yang membutuhkan waktu selama beberapa hari. Antibodi inilah yang akan melawan virus yang menginfeksi.

Rapid test dilakukan dengan menilai antibodi di dalam tubuh melalui pengambilan darah. Ada dua jenis antibodi yang dinilai yaitu IgM dan IgG. Antibodi IgM adalah antibodi yang muncul pertama kali dan dapat diartikan sebagai infeksi yang masih berlangsung. Sedangkan antibodi IgG adalah antibodi yang muncul setelah IgM.

Hasil Rapid test dianggap kurang valid karena bisa saja saat pemeriksaan darah, antibodi belum terbentuk. IgM biasanya terbentuk pada hari ke-5 atau setelahnya setelah infeksi berlangsung.

Sedangkan dengan swab bisa langsung mendeteksi infeksi virus sejak awal masuknya virus ke tubuh dengan mengambil sampel cairan/lendir yang ada di tenggorokan.

Sumber : lifestylebisnis


Saya alhamdulillah mendapat fasilitas gratis dari kantor tempat saya bekerja untuk melakukan kedua tes ini. Bukan karena saat hasil rapid test saya yang reaktif, namun karena ada beberapa orang yang sempat terkonfirmasi positif dan radang tenggorokan saya sempat kumat dan bikin saya parno terpapar virus covid-19, haha..

Sakit nggak di rapid tes dan di swab?

Sakitnya tergantung ya. Rapid test kayak diambil darah untuk dicek seperti biasa. Kalo kata dokter mirip digigit semut. Sedangkan swab agak berbeda sakitnya karena ada benda semacam cotton bud panjang yang dimasukkan ke dalam rongga hidung hingga mentok ke dinding tenggorokan. Kaget awalnya. Sakitnya mirip tersedak nasi saat makan dan nasinya keluar dari hidung. Kebayang nggak tuh nggak enaknya, wkwk.

Sempat saya ingin melakukan swab test mandiri saking parnonya. Tapi kok agak mikir. Tarif paling murah 1,8 juta rupiah euy. Bahkan ada yang 2 juta rupiah sekali tes. Apa nggak mikir cobaaaa... Bersyukur banget masih di-cover kantor dan hasilnya negatif.

Eh, itu swab harganya segitu? Lalu rapid berapaan?

Tarif rapid test lebih murah dari swab. Sempat berkisar 200 hingga 500 ribu rupiah sekali tes. Bisa berbeda di lain rumah sakit. Namun sejak tanggal 6 Juli 2020 Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan akhirnya mengeluarkan aturan bahwa batasan tarif rapid test maksimal ditetapkan adalah 150 ribu rupiah di berbagai fasilitas pelayanan kesehatan.

Saat ini hasil rapid test dibutuhkan untuk bisa bepergian menggunakan pesawat. Jadi kalo mahal, praktis hanya sedikit orang yang mau melakukan tes ini atau menimbulkan risiko masyarakat akan mencari cara untuk dapat memalsukan dokumen dimaksud.

Oke deh, sekian cerita mamak kali ini. Based on true story lah pokoknya, wkwk.

Cara Jitu Menghadapi Toxic People



Pernah nggak merasa emosi atau sebel banget ama seseorang? Entah itu teman, saudara bahkan rekan kerja?
Dalam hidup pasti tiap orang pernah menghadapi orang yang menyebalkan. Rasanya pengen aja ngikutin kata bu Susi, mantan menteri di Kabinet Presiden Jokowi yang lalu. "Kalo dia bertingkah, Tenggelamkan!!"

Kira-kira begitulah perumpamaannya, haha..

Ehmm,, sebelum saya lanjutin, biar tetap fit saya mo minum wedang sereh dulu yang resepnya saya ambil dari blognya kak Nining Pujianti. Seger euy, angettttt... wkwk

Saya termasuk orang yang cuek ama kondisi sekitar. Artinya tidak terlalu peduli orang lain berbuat apa selama tidak mengganggu diri saya pribadi. Alhamdulillah saya juga tidak pernah bermasalah dalam komunikasi ke orang lain walaupun ada yang bilang saya cenderung ceplas ceplos dan to the point kalo ngomong. Kurang pinter basa basi lah pokoknya.

Komunikasi dengan rekan kerja selama bertahun-tahun pun cukup baik. Prinsip saya jika saya berbuat baik pada orang lain, maka orang lain akan berbuat baik juga ke saya. Minimal Allah akan mendekatkan saya dengan orang-orang yang baik juga.

Hingga beberapa waktu lalu saya mendapat tim kerja baru. Beberapa kali saya bekerja dalam tim mengerjakan suatu project, saya cukup menikmati hubungan pekerjaan dan berbagi pekerjaan sesuai dengan kemampuan masing-masing. Tidak pernah merasa diri sendiri paling hebat di tim sehingga project dapat berjalan sesuai target dan memperoleh hasil yang cukup baik.

Di tim yang baru saya "dipaksa" harus belajar suatu hal yang saya sendiri belum punya dasarnya. Jauh deh dari bidang ilmu yang saya pelajari selama ini. Biasanya hanya berkutat pada akuntansi dan manajemen. Namun ini berbeda.

Awalnya saya cukup antusias untuk belajar hal baru pada orang-orang di tim yang sudah punya dasar ilmu yang sesuai. Namun semakin saya berusaha belajar, saya malah merasa semakin bodoh. Apalagi ada satu orang tim kerja yang beberapa kali berkata tidak sopan dan cenderung merendahkan apa yang sudah berusaha saya kerjakan. Benar-benar sempat membuat mental saya down dan saya merasa tidak mengerti apa-apa.

Semakin saya men-challenge diri saya untuk belajar, semakin orang itu sesukanya menyuruh saya melakukan hal yang saya tidak mengerti. Sungguh menjengkelkan.
Berhari-hari saya berpikir apa ada yang salah dengan cara belajar saya. Saya sampai terbangun tengah malam dan berpikir tentang itu lagi dan lagi. Sepertinya saya sudah mulai gila karena merasa gagal belajar.

Saya coba menyelami diri sendiri. Akhirnya saya sampai pada keputusan bahwa saya nggak bisa memaksa diri saya untuk mengikuti kemauan orang tersebut. Biarlah ia merasa saya bodoh dan ia yang paling pintar. Yang penting saya bisa tetap bahagia bekerja sesuai kemampuan saya. Well, saya yang paling tau diri saya sendiri, bukan? Saya akhirnya mulai menjaga jarak dan mengerjakan hal-hal lain yang bisa saya kerjakan.

Setelah saya nggak terlalu memikirkan orang itu, ternyata banyak orang lain juga yang merasa kesal dengan sikapnya. Saya auto mikir, berarti kemaren-kemaren mungkin memang bukan saya yang salah. Tapi memang si menyebalkan itu adalah toxic people yang sempat meracuni pikiran dan jiwa saya.

Apa itu toxic people?

Toxic people secara bahasa dapat diartikan sebagai manusia beracun yang dengan sikapnya bisa meracuni pikiran dan jiwa orang-orang di sekitarnya. Bawaannya membuat orang lain emosi melulu deh. Emosi negatif yang muncul saat menghadapi toxic people ini dapat mempengaruhi sikap orang lain yang terkena racun. Misalnya jadi gampang baper, merasa nggak ada apa-apa dibandingkan si penebar racun, dan merasa diri nggak berguna. Dunia serasa akan lebih indah jika orang-orang ini dimusnahkan, wkwk.

Seseorang nggak ujug-ujug lahir dengan takdir jadi toxic. Ingat istilah dalam film Joker ? "Orang jahat adalah orang baik yang disakiti." 
Seringnya kondisi dan situasi buruk yang pernah atau bahkan sering dihadapi seseorang seperti merasa tidak diacuhkan, disakiti atau dikecewakan orang lain dapat memicu orang tersebut menjadi bersikap toxic dengan menunjukkan egoisme yang tinggi, cenderung mencari kesalahan dan menyalahkan orang lain, ingin menang sendiri, bahkan menyakiti fisik orang lain.

Bagaimana Menghadapi toxic people?
Sadar atau tidak, pasti ada orang seperti ini di sekitar kita. Bisa teman, saudara atau rekan kerja. Seperti yang saya ceritakan di awal. Saya baru sadar bekerja satu tim dengan orang toxic setelah saya merasa nggak berguna dibanding dirinya dan beberapa kali disalahkan atas sesuatu yang saya kerjakan. Hampir saja racunnya merasuki jiwa saya.

Di satu sisi rasanya kasian karena toxic people sepertinya akan sulit berhubungan dengan orang lain, termasuk bekerja dalam tim. Tapi di sisi lain karena dia sempat menebar racun ke saya, sa bodo teuing aja lah. Saya mah nggak mau jadi sok hero sebelum saya dapat membahagiakan diri saya sendiri.


1. Jaga jarak dalam berhubungan
Jika tidak ingin terkena racun dari toxic people, sebaiknya jaga jarak dalam berhubungan dengan mereka. Jangan terlalu dekat karena mereka dapat menyeret kita untuk ikut berpikir negatif sama seperti mereka. Bisa-bisa kita juga jadi satu tim toxic kayak mereka. Ihh,, amit-amit deh.

2. Batasi Komunikasi
Komunikasi dengan toxic people seperlunya saja dan to the point. Nggak usah pake basa basi yang akhirnya menjadi celah ia merendahkan atau menyalahkan kita.

3. Hargai Kemampuan Diri
Berbicara dengan toxic people sering membuat kita merasa bodoh atau bersalah dengan sikap dan perkataan mereka. Jangan sampai kita jadi baper terus kayak gitu. Harus segera sadar kalau masing-masing diri punya kemampuan. Hargai kemampuan dan sayangi diri kita sendiri agar kita tetap bahagia menjalani apa yang kita kerjakan.

4. Speak Up!
Menghadapi sikap negatif toxic people sering membuat kita harus lebih berani berbicara. Selama masih belum terlalu merasa diganggu kita dapat bersikap diam dan cuek mau itu orang jungkir balik gimana pun. Namun saat si toxic people udah kelewat batas, kita harus berani speak up. Kalo kata orang Medan, datengin tu orang trus bilang "Mau Kau Apa? Carik pekara teros kau ama aku ya!! Maen kita???". Sayangnya sampe sekarang saya belum bisa kayak orang Medan kali walaupun tinggal di Medan, wkwk.

5. Cuekin dan Cari Lingkungan yang Lebih Positif
Daripada membuang waktu, tenaga dan pikiran dengan berinteraksi dengan orang toxic, mending cari lingkungan baru yang lebih baik dan memberikan hal positif ke kita. Kemampuan kita bisa ditingkatkan, bisa belajar akhlak yang lebih baik dan akan banyak hal baik lain yang kita peroleh. 

Lebih baik lagi sebenernya kalo kita bisa ngomong ke si toxic agar dia bisa berubah. Yang penting kita bisa menata emosi biar nggak jadi emosi ujung-ujungnya. Nanti niatnya dapet pahala, malah jadi dosa, haha..

Semoga kita bisa tetap happy walaupun pernah menghadapi toxic people. Dan jangan sampe malah kita yang menebar racun ke orang di sekitar kita. Stay happy ya Mak!!!!