Bismillah..
Saya orang yang suka jalan-jalan atau travelling. Sejak kuliah saya ingin bisa menjelajah berbagai tempat baik di dalam negeri maupun luar negeri. Merasakan keindahan ciptaan Allah dengan melakukan perjalanan ke seluruh belahan bumi. Saya pun bercita-cita untuk dapat bekerja di perusahaan multinasional atau internasional untuk mewujudkan impian jalan-jalan saya itu.
Qadarullah, saya memutuskan untuk menikah di usia belum sampai 23 tahun. Kata orang tergolong cukup muda untuk memulai kehidupan rumah tangga. Namun karena sudah ada jodoh yang datang dan saya nilai cukup baik untuk jadi imam saya dan anak-anak saya nanti, saya dengan mantap mengambil keputusan itu. Kami pun memulai kehidupan dari nol secara ekonomi. Benar-benar dengan modal percaya Allah akan menjamin rezeki hamba-Nya yang niat beribadah.
Tiada jalan-jalan merayakan honeymoon seperti yang dilakukan pasangan yang baru menikah pada umumnya. Yang ada kami langsung tinggal di rumah kontrakan dan menata hidup secara perlahan. Saya sempat nyeletuk ke suami, saya pengen nabung untuk bisa travelling ke luar negeri dan bisa merasakan honeymoon berdua.
Bukannya mendukung, doi malah bilang kalo dia pengen luar negeri pertama yang ia injak adalah Arab Saudi. Tepatnya Mekah dan Madinah. Jadi saya harus bersabar sampai kami bisa berangkat menunaikan ibadah haji.
Kebayang nggak perasaan saya saat itu? Di satu sisi bersyukur udah dikasi suami yang insyaAllah sholeh. Mengutamakan ibadah daripada cuma sekedar jalan dan foya-foya. Bisa mengenyampingkan godaan nikmat dunia. Tapi di sisi lain saya cuma bisa manyun karena impian dunia saya langsung dipatahkan dengan impian akhirat suami. Lah,, aku kudu piye??? Kalo udah gini, sabar adalah koentji, haha..
Sebagai istri yang bercita-cita sholeha, saya pun mau nggak mau nurut apa kata suami. Walaupun saya nggak tau kapan kira-kira tabungan kami cukup untuk bisa berangkat haji. Mikirnya sederhana, Allah akan memanggil hamba-Nya kapanpun Allah mau.
Tahun demi tahun berganti. Tabungan yang diimpikan masih belum terwujud sepeserpun di awal tahun 2019. Padahal rencana menabung sudah kami ikrarkan hampir sepuluh tahun yang lalu. Hingga suatu hari suami merasa "ditampar" dengan pertanyaan dari seorang rekan kerjanya.
Si sesebapak itu bertanya, apakah suami niat berhaji?
Ya jelas jawabannya iya.
Lalu, kalo besok tiba-tiba meninggal dan malaikat bertanya tentang niat itu jawabnya gimana?
Suami langsung diam, nggak punya jawaban.
Ibarat main kartu, suami udah kena skak mat. Pengen kasi pernyataan pembelaan, jelas belum ada bukti. Trus kebayang malaikat langsung lompat ke pertanyaan selanjutnya.
Si bapak pun dulu diingatkan seseorang dengan cara yang sama dan beliau lanjutkan ke suami. Akhirnya si bapak ngajarin untuk beli celengan ayam yang harus rutin diisi. Kasi target minimal lima ribu rupiah sehari. Minimal kalo besok ajal datang, bisa kasi pembelaan ke malaikat, wkwk.
Itu sih perumpamaan sebenernya. Tapi ada benarnya juga untuk memotivasi suami dan saya untuk menabung haji tiap hari. Walaupun belum dalam bentuk tabungan haji yang menurut kami butuh minimum saldo, uang di celengan yang mungkin baru beberapa ribu rupiah sudah bisa jadi bukti niat untuk rukun Islam terakhir ini.
Ndilalah... celengan yang sudah terisi selama beberapa bulan kami berikan pada saudara yang membutuhkan uang. Awalnya sempat menatap penuh makna ama suami sebelum mengikhlaskan uang dalam celengan untuk diberikan ke orang. Tapi lagi-lagi suami meyakinkan saya untuk percaya ama Allah. Niat menabung haji sudah pelan-pelan dilaksanakan dan masih bisa dilanjutkan walau harus memulai dari nol. Kalah lah slogan pom bensin plat merah pokoknya.
“Barang siapa yang melepaskan satu kesusahan seorang mukmin, pasti Allah akan melepaskan darinya satu kesusahan pada hari kiamat. Barang siapa yang menjadikan mudah urusan orang lain, pasti Allah akan memudahkannya di dunia dan di akhirat. Allah senantiasa menolong hamba Nya selama hamba Nya itu suka menolong saudaranya”. (HR. Muslim, lihat juga Kumpulan Hadits Arba’in An Nawawi hadits ke 36).
Hingga akhirnya kami memutuskan untuk membuka tabungan haji di Bank Muamalat dengan berbekal 500 ribu rupiah per masing-masing rekening saya dan suami. Harapannya setiap bulan bisa menyisihkan minimal seratus ribu dari penghasilan kami untuk ditransfer ke rekening tersebut. Realitanya, kami belum bisa rutin melaksanakan niat tersebut.
Tahun 2020 menjadi tahun dimana tidak ada jemaah haji yang diberangkatkan karena pandemi covid-19 di seluruh dunia. Sedih.. banyak yang kecewa karena mimpi untuk segera melihat ka'bah dan mencium Hajar Aswad sekian lama harus pupus karena kondisi ini. Padahal antrian haji juga sudah mengular hingga belasan tahun ke depan.
Mau tidak mau saya harus memaksakan. Tak lepas doa di tiap sholat agar dimudahkan untuk segera melunasi tabungan dan mendapat porsi keberangkatan. Merogoh tabungan yang bisa diambil tanpa menggoyang ekonomi keluarga saat ini. Saat tabungan hampir mencukupi pun, tiba-tiba ada saudara dekat yang kesulitan membayar hutang ke orang. Saya pun menguatkan hati dengan tetap meminjamkan uang yang seharusnya menjadi tambahan tabungan haji. Tak lupa meminta doa kepada mereka agar saya dan suami dimudahkan rejeki untuk melunasi haji tersebut.
Akhirnya di pertengahan Juni kemarin, ada tambahan pendapatan yang tak disangka masuk ke rekening. Jumlahnya dapat mencukupi pelunasan tabungan haji kami tanpa merusak cashflow bulanan rumah tangga. Alhamdulillah wa syukurillah.. Langsung terbersit, mungkinkah ini do'a dari mereka yang kami pinjami uang agar terbebas dari hutang? Ahh,, entahlah. Yang jelas ini rezeki dari Allah dan saya tak mau menunda lagi.
Di hari Jum'at minggu kedua bulan Juni 2020, saya dan suami mengurus segala persyaratan dari bank dan kantor Kementerian Agama Kota Medan untuk mendapatkan porsi keberangkatan haji. Prosesnya alhamdulillah nggak ribet dan cukup cepat. Dimulai dari mengurus dokumen dari Bank Muamalat, lalu ke kantor Kemenag untuk foto dan melengkapi sisa dokumen lainnya.
Tau nggak dengan nomor porsi kami, jadwal keberangkatan kami kapan kira-kira?
18 tahun lho... wkwk
Nggak apa-apa lah ya. Yang penting niatnya sampe. Kalo besok umur kami selesai di dunia, minimal nggak bingung lagi jawab pertanyaan malaikat di akhirat nanti, hehe.. Saya percaya, Allah akan memanggil tamu ke rumah-Nya di Baitullah pada waktunya. Tergantung amalan dan doa yang dipanjatkan hamba-Nya. Jadi mungkin aja panggilan lewat jadwal keberangkatan 18 tahun itu menjadi lebih cepat atau malah lebih lambat.
Kadang mikir ke masa lalu. 8 tahun lalu kami pernah diberi rejeki sejumlah uang yang dapat melunasi haji. Kenapa nggak dari dulu saya lunasi ya? Kan nggak harus nunggu 18 tahun,, hix..
Ahh,, udah masa lalu. Jadi pelajaran aja sih, kalo urusan ibadah nggak boleh nanti-nanti. Harus dipaksakan.
Buat temen-temen yang punya niat berhaji, sudah bisa nih menabung haji. Supaya nggak terlalu lama nunggu porsi hajinya. Ahh,, bisa umroh dulu kok mak.. Umroh silakan aja, tapi itu bukan termasuk rukun Islam. Jatuhnya ibadah sunnah. Kalo cuma punya duit terbatas, saya lebih memilih melunasi dana haji lebih dulu daripada melaksanakan umroh. Kalo banyak duit mah lebih enak bisa lunasi haji dan umroh tiap tahun, haha...
Sekian cerita jatuh bangun saya dan suami menabung dan melunasi dana haji. Semoga kami bisa lebih memperbaiki iman dan ibadah kami hingga panggilan ke Baitullah benar-benar ada.
With Love,
Mamak
tetap semangat ya kak, semua akan indah pada waktunya :D
ReplyDeleteIyaaaa... insyaAllah kita semua bisa segera diundang ke Baitullah ya :)
DeleteBismillah, minta doanya kak semoga saya dan keluarga bisa berkunjung ke rumah Allah dengan melaksanakan haji, allahumma amin.
ReplyDeleteAmin ya Robb. Semoga segera dikabulkan ya. Percaya, yakin dan usaha dengan perbanyak doa dan ibadah.
Delete