4 Juni 2020.
Tepat empat tahun umur anak bungsu
saya. Anak ketiga yang proses kelahirannya jauh lebih cepat dari abang dan
kakaknya. Diperiksa bidan jam 7 pagi, lahir dua jam setelahnya. Tanggal
lahirnya bertepatan H-2 bulan Ramadhan 1437 H. Bukan di rumah sakit, tapi di
rumah sehat. Iya, rumah sehat. Karena saat USG terakhir kondisi bayi dan saya
aman, saya memutuskan untuk lahir dengan bidan di klinik bernama Rumah Sehat
Wahida.
Di usia kehamilan 7,5 bulan, saya masih harus melakukan dinas ke luar kota dengan pesawat dan aktif kesana kemari untuk menyelesaikan kewajiban saya. Bisa dibilang ia sudah merasakan lembur mengejar deadline audit report bersama saya, melalui rapat demi rapat untuk target pekerjaan yang cukup melelahkan namun saya tetap semangat mengerjakannya.
Lahir dengan jalan normal per vagina di usia kehamilam 40 minggu,
mengejan pertama seperti meniup balon dari rahim saya. “Balon” berisi
cairan ketuban pun akhirnya pecah dengan sayatan dari alat bidan. Belum selesai
bidan mempersiapkan alat yang dibutuhkan, si kecil sudah tak sabar keluar.
Akhirnya ia pun meluncur dan ditangkap oleh ayahnya sendiri. Sang bidan aja
heran. Seperti sungguh di luar prediksinya.
Silmi Maryam Azzahra. Nama yang sudah
disiapkan si ayah untuknya. Saya hanya menambahkan kata Maryam karena sepenuh
hati saya berdoa agar akhlaknya kelak mencontoh Maryam, ibunda Nabi Isa
alaihisalam. Silmi sendiri berarti damai, karena sebelum silmi lahir keluarga
kami sempat mengalami konflik yang cukup mengguncang. Kehadiran silmi
diharapkan menjadi perdamaian bagi kami semua. Azzahra sebenarnya berasal dari
bahasa arab yang artinya mawar. Tapi diberikan ayahnya agar sama dengan nama
nenek alias mertua perempuan saya.
Kami memanggilnya Silmi, kadang juga
Maryam. Diantara ketiga anak kami, wajahnya yang paling mirip dengan saya.
Rambutnya mirip si oma. Secara fisiologis tubuhnya juga cenderung mengikuti
keluarga saya. Berbeda dengan si abang dan kakak yang lebih mirip ke suami.
Tumbuh kembangnya cukup cepat. Gigi
pertama Silmi muncul di usia 7 bulan dan langsung 4 buah. Ia juga sudah dapat berjalan
dan melangkahkan kakinya di usia 8,5 bulan. Cukup fantastis untuk saya karena kedua
anak sebelumnya baru bisa berjalan di usia 10 dan 11 bulan. Saat ini kemampuan
berbicara sudah bisa, namun masih cadel alias hurufnya belum pas. Hampir semua
huruf awal dan akhir jadi huruf “t”, haha..
Menjelang usia ke-4 tahun ini, Silmi
memberikan kejutan dengan terkena penyakit pertusis di bulan Januari lalu yang
mengharuskan ia diopname di rumah sakit selama delapan hari. Merasakan tusukan
demi tusukan jarum di lengannya setiap hari. Benar-benar menjadi momen yang tak
terlupakan bagi saya harus tinggal di rumah sakit selama itu menemani anak yang
tidak jelas diagnosa penyakitnya. Menjadi pelajaran untuk lebih baik lagi
menjaga kebersihan dan kesehatan anak-anak kami.
Hari ini tepat ulang tahunnya keempat.
Melihat kondisinya sekarang membuat ingatan saya kembali ke masa-masa ia masih
berada dalam kandungan, awal melahirkan hingga perkembangannya dari waktu ke
waktu. Ia yang menjadi kesayangan abangnya dan membuat si kakak cemburu pada
mereka. Dasar anak-anak, sebentar berantem, sebentar ya akur lagi.
Biasanya kalo ada yang ulang tahun,
saya membeli kue ulang tahun yang banyak coklatnya atau memesan dari tetangga.
Namun kali ini saya ingin membuat kue sendiri. Saya yakin rasa dan tampilannya masih
jauh dari yang dijual atau dibuat tukang kue dengan jam terbang tinggi. Meski
begitu mereka nggak punya bumbu cinta khusus untuk Silmi, hehe..
Berbekal belajar dari nonton Youtube
nya Farah Quinn untuk cake coklat dengan coklat ganache, jadilah kue ala mamak
untuk Silmi tercinta.
Selamat ulang tahun, Nak. Barakallah
fii umurik.
Semoga adek tumbuh menjadi anak sholeha,
cerdas dan bermanfaat bagi orang-orang di sekitar adek.
Love,
No comments
Post a Comment