Sumber : EISAU |
Guru adalah profesi yang mulia. Mengajar murid mulai dari tidak tau menjadi tau, dari yang tidak paham menjadi paham dan mendidik generasi yang akan menjadi penerus peradaban. Dengan menjadi guru, ilmu bermanfaat yang diberikan kepada semua murid akan terus mengalirkan pahala walaupun sang guru telah meninggal dunia.
Begitu mulianya profesi guru, ternyata tidak berbanding lurus dengan jumlah anak yang bercita-cita menjadi guru. Hasil penelitian melalui angket yang dilakukan oleh Kemendikbud di tahun 2019, hanya 11% persen siswa yang bercita-cita menjadi guru. Dari 11% tersebut 80% nya adalah perempuan. Bahkan kebanyakan siswa memilih cita-cita yang lebih menjanjikan secara finansial seperti dokter, youtuber, dan pengusaha dibandingkan menjadi guru yang bisa mendidik generasi selanjutnya di masa depan.
Sedihnya lagi, siswa yang memilih cita-cita sebagai guru adalah siswa yang nilai akademisnya tergolong rendah. Sedangkan siswa dengan nilai akademis tinggi cenderung memilih cita-cita yang menjanjikan penghasilan finansial lebih baik seperti yang telah disebutkan sebelumnya.
Bayangkan jika yang mendidik anak cucu kita kelak adalah guru yang tidak pintar, tidak bisa memahami materi pelajaran dengan baik, tidak bisa menanamkan nilai karakter baik karena profesi gurunya hanya bertujuan “aman” secara finansial dengan kemampuannya yang pas-pasan??? Mau jadi apa generasi penerus bangsa ini nanti?
Saya teringat cerita suami saat ia masih kecil dan tinggal di kampung daerah Tapanuli Selatan. Guru yang mengajar mata pelajaran Fisika adalah guru lulusan pendidikan olahraga dikarenakan kurangnya tenaga pengajar di sekolahnya. Sang guru sering tidak paham materi yang akan diajarkan pada muridnya. Akhirnya mengikuti apa yang ada di buku teks yang malah membuat sebagian besar muridnya semakin tidak paham. Alhasil, saat duduk di bangku SMA, suami saya harus bekerja keras mengulang pelajaran Fisika SMP di saat teman-teman sekelas lain yang berasal dari SMP di kota lain sudah pernah memahami materi yang disampaikan. Mirisnya lagi, cerita yang sama masih saya dengar di sekolah lain beberapa waktu yang lalu.
Di era millenial yang semakin berkembang dan anak generasi Z yang mulai mengenyam pendidikan formal, peran guru menjadi lebih luas. Tidak hanya dalam hal mata pelajaran di dalam buku teks, namun juga merambah ke pendidikan karakter sebagai penguat karakter yang telah dibangun di rumah.
Cara guru bersikap, mengajar dan berpakaian adalah salah satu penilaian yang saya lakukan saat memilih sekolah untuk anak-anak saya. Hal ini menjadi penting untuk menyamakan visi dan misi pendidikan yang diberikan di rumah dan di sekolah agar anak tidak bingung menentukan tujuan pendidikan bagi dirinya.
Tak hanya itu, guru juga harus bisa melakukan sesuatu yang membuat murid menyayanginya sehingga senang dan semangat dalam mengikuti pelajaran, baik pelajaran akademis maupun non-akademis seperti akhlak dan perilaku yang baik.
Lalu, bagaimana cara agar menjadi guru yang disayangi murid? Berikut tipsnya.
Menjadi
guru harus dapat memahami karakter masing-masing murid. Tiap murid itu spesial
dan memiliki karakter khusus yang membedakan yang satu dengan yang lainnya. Tidak
ada anak yang bodoh karena mereka memiliki kecerdasan masing-masing yang
berkembang secara dominan. Menurut penelitian ada delapan tipe kecerdasan yang
berkembang pada anak, namun hanya satu atau beberapa yang dominan tergantung stimulasi
yang dilakukan orangtua dan lingkungannya.
Kecerdasan
itu adalah kecerdasan linguistik, logika/matematis, interpersonal, intrapersonal,
musikal, spasial/visual, kinestetik, dan naturalis. Guru yang baik akan
memahami kecerdasan yang dominan pada anak muridnya. Sehingga akan menyesuaikan
metode belajar antara anak satu dengan anak lainnya.
Lebih lengkap tentang kecerdasan anak dapat dibaca di tulisan lain tentang Mengenal Tipe Kecerdasan Anak.
Lebih lengkap tentang kecerdasan anak dapat dibaca di tulisan lain tentang Mengenal Tipe Kecerdasan Anak.
Anak
dengan kecerdasan visual dapat memahami pelajaran dengan duduk, diam dan
memperhatikan. Namun hal ini tidak maksimal berlaku pada anak dengan kecerdasan
kinestetik karena mereka lebih senang belajar sambil melakukan apa yang disuka,
namun telinga mereka mendengarkan penjelasan yang diberikan guru.
Dengan
memahami karakter belajar anak, maka anak akan lebih nyaman dengan sang guru dan
belajar tanpa paksaan.
2. Menjadi Teman
Sepertinya
udah nggak jaman lagi guru harus ditakuti muridnya. Guru yang bisa menjadi
teman cerita atau teman curhat akan lebih disayangi. Guru dapat
mendekati atau berkumpul dengan muridnya saat jam istirahat atau makan siang
untuk bercengkerama. Guru sebagai teman dapat memotivasi murid untuk lebih
semangat dalam belajar, membantu dan menguatkan murid saat sedang berada dalam
masalah. Pasti butuh waktu agar dapat mengambil kepercayaan anak-anak. Namun
jika guru sudah bisa menjadi teman bagi anak muridnya, maka sudah pasti si anak
menyayangi guru tersebut.
3. Perhatian
Siapa yang nggak klepek-klepek kalo diberi perhatian? Perhatian nggak harus berlebihan, cukup dengan bertanya kabar, suasana hati, atau mengingatkan hal tertentu juga merupakan bentuk perhatian. Bahkan respon marah guru juga merupakan perhatian, namun tetap harus terarah dan terkendali. Guru yang memberi perhatian tulus dalam bentuk apapun bisa dipastikan akan memperoleh rasa sayang dari anak muridnya.
4. Ikhlas dan Tulus
Mendidik itu dengan hati. Agar apa yang diajarkan juga bisa sampai ke hati si penerima. Hati guru yang tulus dan ikhlas mendidik anak murid akan membuat murid merasa senang, nyaman dan mudah memahami pelajaran. Sebaliknya guru yang tidak tulus akan langsung terpancar aura negatif dari dalam dirinya yang akan membuat murid tidak nyaman dalam belajar.
5. Komunikasi dengan Orangtua
Pendidikan di rumah dan di sekolah harus selaras dalam visi dan misi. Dalam hal ini sangat penting adanya komunikasi yang baik antara guru dan orangtua murid mengenai perkembangan anak di sekolah, baik akademis maupun non akademis. Jaman gawai sekarang komunikasi bisa lebih mudah melalui grup di sosial media seperti whatsapp dan lainnya.
6. Mencontohkan Kebaikan
Selain mengajar sesuai buku teks pelajaran, seorang guru juga harus dapat mencontohkan hal-hal baik dalam kehidupan sehari-hari. Misal makan minum sambil duduk, menggunakan tangan kanan, tidak terlambat, memperbanyak sedekah dan berbagi di hari Jumat. Anak murid pun akan melihat langsung wujud nyata kebaikan yang
telah diajarkan guru.
Menu Jum'at Berbagi dari Guru dan Beberapa Anak Bergiliran (dok. pribadi) |