PENGEN RESIGN



Pada setuju nggak kalau saya bilang menjadi working mom itu sebenernya surga dunia bagi perempuan?

Udah… jujur aja. Ya kan, ya kan??

(Baca juga : Menjadi Working Mom : Itu Pilihan!)

Kenapa?

Karena banyaknya kenikmatan yang ditawarkan dari bekerja di luar rumah jika dibandingkan dengan perempuan yang sehari-harinya disibukkan dengan pekerjaan rumah tangga dan anak yang pastinya bikin rempong sedunia.

Bisa plesir colongan saat dinas ke luar kota. Nongkrong cantik sambil makan siang di café. Ketemu banyak orang. Tidur nyenyak di hotel tanpa ada yang bangunin karena minta digantiin popok, dibuatin susu, ke toilet dan sebagainya.

Belanja dari mall ke mall tinggal pilih. Rekening rutin terisi diluar jatah dari suami. Surga dunia banget lah pokoknya. 

Pulang ke rumah aura kebahagiaan pun terpancar setelah seharian berada di luar rumah. Capek pun dinikmati. Tinggal menemani anak-anak yang sudah bersih, kenyang dan rapi sampai mereka tertidur pulas di malam hari.

Working mom kayaknya nggak harus memikirkan segala kehebohan anak-anak di rumah saat siang, cucian dan setrikaan yang menggunung, rumah yang berantakan, piring kotor dan segala urusan dinas rumah tangga yang cenderung dipandang monoton setiap hari.

Hidup seorang working mom ternyata tidak sekece dan seindah yang dibayangkan gaes…

Dulu saya pikir, dengan bisa menghasilkan uang sendiri saya dapat memberikan apa saja ke anak-anak saya. Keterbatasan ekonomi keluarga saat saya kecil menjadi bayang-bayang yang otomatis membuat otak saya berpikir anak saya nggak boleh mengalami apa yang saya alami dulu.

Memangnya apa yang udah dialami?? #lebay

Nggak muluk-muluk sih.

Saya ingin bisa membelikan mainan dan buku apa saja tanpa peduli harganya. 

Saya ingin anak saya bisa main di playground mal-mal tanpa mikir berapa yang harus saya bayar untuk tiket masuknya.

Saya ingin punya jadwal rutin jalan-jalan ke luar kota bahkan luar negeri bersama keluarga.

Apanya yang nggak muluk-muluk itu mah… Siap ditimpuk ama emak-emak dasteran.

Di balik bayangan indah itu ternyata banyak yang bisa bikin jiwa sebagai ibu dan mamak berontak.

Oke lah jika masih berdua ama suami. Bisa jalan-jalan sesuka hati, ke luar kota dan luar negeri.

Pulang kantor janjian makan malam berdua di luar. Gaji dobel gitu loh.

Untuk liburan setahun ke depan pun sudah cari tiket promosi. Menghabiskan uang yang selama ini dikumpulkan untuk bisa hepi-hepi dan menikmati hasil dari jerih payah yang dilakoni.

Hingga tiba saatnya Allah memberikan buah hati yang pastinya diharapkan semua pasangan suami istri.

Dilema pun menghampiri…..

Saat  cuti melahirkan selesai, memandangi bayi mungil di hari-hari terakhir cuti dan mempersiapkan segala sesuatu agar kebutuhan anak terpenuhi walaupun kehadiran kita tidak ada di siang hari.

Masuk ke drama lain lagi.

Anak demam dengan suhu lebih dari 39 derajat. Mukanya lesu dan membutuhkan pelukan secara intensif sepanjang hari. Lepas dikit dari gendongan, udah mulai nangis minta dipeluk lagi. Seakan-akan mau bilang, “Mamak nggak boleh kemana-mana!”.

Kirim pesan whatsapp ke bos dan minta ijin cuti. Malah diingatkan dengan deadline kerjaan yang semakin mepet. Pengen nangis rasanya.

Anak sembuh, masuk ke drama lainnya.

Tiba-tiba harus pergi dinas ke luar kota padahal anak masih ASI Eksklusif. Stok ASIP udah mulai menipis di kulkas. Kejar pumping sampai cari-cari alternatif ibu susu / donor ASI untuk berjaga-jaga jika harus memilih susu formula.

Di luar kota mulai teringat si bayi. Mewek sendiri, kangen tidur dan meng-ASI-hi buah hati. Galau tingkat tinggi. Pengen rasanya pinjam pintu kemana saja – nya doraemon agar bisa langsung tembus ke kamar dan memeluk si bayi.

Kerjaan seabreg dan harus lembur mengejar closing audit, teringat si bayi menunggu di rumah untuk dipeluk dan nenen langsung dari ibu nya.

Drama selanjutnya…

Saat si mbak, si teteh, si uwak nggak kelihatan hilal nya setelah pulang ke kampung untuk lebaran. Beberapa saat kemudian ponsel berdering dan dari jauh ia bilang, “Maaf bu, saya sementara mau istirahat di kampung dulu.”

Sembari mencari-cari pengganti dan ibu tidak bisa cuti lagi, anak-anak akan estafet dititipkan ke nenek, oma, bude, bulek, tetangga sampai ke daycare.

Bukannya menikmati pekerjaan di kantor, malah nggak konsen karena teringat dengan si buah hati yang dititipkan kesana kemari. “Anakku rewel nggak ya?”; “Makannya bener nggak ya?”; “Udah mandi belum ya?”

Ya Allah,,, saya kerja ingin cari duit untuk anak saya. Tapi kenapa saya malah menjauh darinya. Pulang malam, sabtu minggu sering harus lembur karena tuntutan kerjaan dan bos tentunya.

Untuk kesekian kali buka file surat resign yang sudah beberapa kali dimodifikasi di laptop.

Tiba-tiba teringat…

Cicilan rumah masih beberapa tahun lagi.

Masih ada mimpi lain yang ingin dikejar

Uang sekolah anak makin mahal beberapa tahun ke depan.

Abis resign trus mau ngapain? Yakin di rumah aja?

Udah siap dengan konsekuensi nggak punya penghasilan sendiri?

Sayang dong ilmu yang didapat dari dulu kalo cuma untuk pribadi dan keluarga sendiri?

Gimana dengan orangtua yang udah berharap banyak dari anak perempuannya?


Bimbang….

Etapi… anak itu segalanya. 

Kebahagiaan sejati seorang istri dan ibu itu ya di rumah saat membersamai anak dan suaminya.

Gaji suami pasti cukup tanpa punya sumber gaji lain lagi, yang penting syukurnya.

Nggak percaya ama matematika Allah?

Aku harus bisa jadi madrasah pertama untuk anak-anakku.

Bimbang lagi..

Galau lagi..

Dan filenya ditutup lagi untuk ke sekian kali.

***

Rasanya seperti ingin jadi puisi dian sastro dalam AADC.
Kulari ke pantai kemudian teriakku. Kulari ke hutan kemudian…

Buat kamu yang pernah, sedang atau sering mengalami hal ini,  hayuk sini berpelukan dan saling menguatkan. I FEEL YOU….

Pasti ada saatnya nanti, saat hati ini mantap untuk bisa resign dan menghadapi segala konsekuensi.

Saat Allah memberikan keteguhan hati untuk menjalani hari-hari sebagai stay at home mom dengan senang hati.

Saat muncul keberanian dan kerelaan untuk melepaskan kenikmatan di luar rumah dan menggantinya dengan kenikmatan penuh di dalam rumah.

Sampai saat itu tiba… mari saling menguatkan.

Karena kita sadar, karir tertinggi seorang ibu, baik bekerja ataupun tidak, ada di dalam hati anak-anak kita sendiri. Tidak ada seorang pun ibu yang rela berjauh-jauh dari anaknya tanpa alasan yang berarti.

Love,
-Mamak-

25 comments

  1. Sebagai seorang single mom sekaligus single figter, mau nggak mau aku harus bekerja. Tinggal bersama orangtua, aku santai banget meninggalkan anak-anak bersama mereka. Nggak ada tuh, drama susah cari pengasuh, dapat pengasuh galak, pengasuh nggak balik mudik, dan sejenisnya.

    Meskipun kalau anak-anak sakit, aku sudah pasti ambil cuti. Jadi selama bertahun-tahun kerja, jatah cutiku hanya pernah dipakai saat anak sakit, orangtua sakit (karena otomatis nggak bisa mengawasi cucu-cucu), dan datang ke sekolah anak saat ada kegiatan yang memerlukan kehadiran orangtua. Cuti buat jalan-jalan keluar kota? Nggak pernah sama sekali, wkwkwk ... Kesian bangeeet.

    Sampai akhirnya, sesuatu terjadi pada sulung dan aku harus meluangkan waktu sangat banyak buat dia. Akhirnya memutuskan berhenti bekerja setelah 12 tahun kurang satu bulan mengabdi di perusahaan yang sama. Rasanya campur aduk banget. Sekarang aku bekerja di rumah dan sering banget merindukan kerja beneran, kerja kantoran.

    ReplyDelete
  2. Seorang sahabat pernah curhat persis seperti yang Mbak tuliskan ini. Bedanya, anaknya sudah SD.
    Tapi semuanya ada kelebihan dan kekurangannya sih, mau itu si ibu berkarier di luar rumah ataupun di rumah saja.


    Dan memang yang di bagian akhir benar banget:
    karir tertinggi seorang ibu, baik bekerja ataupun tidak, ada di dalam hati anak-anak kita sendiri.

    Mari kita saling mendukung sebagai sesama perempuan ... in syaa Allah nanti bisa mendapatkan cara terbaik untuk lebih bahagia :)

    ReplyDelete
  3. Kebetulan istri nggak kerja, jadi nggak tahu gimana rasanya kalau punya istri yang kerja, hehehe. Kayaknya sih repot banget, meski pun suami udah bantu pekerjaan rumah juga.

    ReplyDelete
  4. Ibu bekerja dengan ibu rumah tangga itu sama. Bedanya, yg satu bekerja di ranah publik, satunya ranah domestik. Galaunya sama, worriednya sama, cuma porsinya aja kadang yg beda, bergantung personalnya juga sih. Hehehe. Yg jelas yg namanya ibu-ibu pasti sering khilaf melihat rumput tetangga jauh lebih hijau. Padahal, saat kita iri dengan kehidupan ibu lain, ada ibu lain yg iri dengan kehidupan yg kita jalani. Tetap semangat ya mba.

    ReplyDelete
  5. Ahhhh Mba aku jadi ikutan mewek nih bacanya. Kerasa banget tulisannya di tulis dari hati hiks..hiks. Mba bolehkah aku bercerita sedikit? Aku dibesarkan dengan kemiskinan dan masa yang sangat sulit. Ayahku cuma tukang koran lulusan SD, dan ketika aku sudah dewasa, mama terpaksa ikut berjualan di pasar dari jam 2 malam sampai siang. Untuk membantu membiayai sekolah kami.

    Mba tahu, walaupun hidup kami sulittttt sekali. Tapi allhamdulillah kami masih bisa makan, bahkan ketika sulit itu kami pun pernah hanya makan nasi dan sebuah garam. Karena seekor semutpun Allah tak pernah lupa memberinya makan dan rezeki. Apalagi kami yg manusia.

    Kami puntak memiliki rumah, tapi kami mengontrak sebuah kamar di gang kumuh yang diisi oleh 7 orang. Hidup kami sulit sekali. Walau begitu kami masih bisa hidup, masij bisa makan, dan masih bisa meneduh dari siang dan malam dan juga masih bisa sekolah. Walau untuk sekolah itu aku harus berjalan kaki jauh dan menahan lapar di sekolah karena uang jajanku, ku gunakan untuk membayar keperluan sekolah dan mencari keringanan sekolah. Tumbuh menjadi anak yang pekerja keras dan cerdas agar aku bisa mendapatkan beasiswa agar bisa meringankan beban orang tuaku.

    Hdup yang slit itu tak pernah ku sesali bahkan aku syukuri karena tanpa kesulitan itu, aku tak akan setangguh ini menghadapi hidup dan menjalani kehidupan ini dengan konsep positif dan membuatku semakin menyayangi mamaku.

    Kini, walau telah menikah dan memiliki perekomian yang cukup walau tidak berlebih. Aku tetap menerapkan arti perjuangan pada anakku. Walau anakku msh kecil, jika dia menginginkan sesuatu yg mahal. Dia harus nabung dulu. Dia harus berusaha dulu, dia harus bersabar dulu. Bahwa hidup ini perjuangan. Dia hrus tetap belajar sebuah kesederhanaan. Krn aku ingin mendidiknya tangguh, belajar menghargai sebuah proses dan segala sesuatunya tanpa sedikitpun mengurangi rasa cinta kami. Dan aku pun memilih menjadi ibu rumah tangga sementara ini karena anakku masih kecil dan lebih membutuhkan ibunya dari apapun. Tapi ketika dia sudah beranjak besar baru deh aku akan belari untuk mengejar mimpi-mimpiku di luar sana. Karena mimpiku masih bisa menunggu. Tapi masa kecil anakku hanya sekali dan tak akan pernah terulang kembali dan aku pun takut salah satu ibu yang menyesali di hari tuaku menjadi ibu yang kehilangan banyak waktu bersama anak di masa kecilnya. Lalu tua hidup dengan rasa sepi dan rindu pada mereka karena mereka telah beranjak dewasa dan pergi meninggalkan kita 😭.

    Dan ketika di akherat nanti, kitalah yang akan ditanya olehNya tentang pendidikan dan pengasuhan anak kita. Bukan mbanya, neneknya, sopirnya dan lain-lain. Tapi kita

    Semangat Bunda. Sini aku pelukkkk. Semoga Allah memudahkanmu 😘😘😘

    ReplyDelete
  6. Resign juga perlu persiapan. Biasa punya uang sendiri tiba-tiba full tergantung pada suami kadang juga timbul persoalan. Sebaiknya istikharoh bun dan dikomunikasikan dengan suami gmn baiknya. semoga bisa memperoleh keputusan terbaik..aamiin..

    ReplyDelete
  7. Saya dulu bakal jawab IYAAAAAAA....
    untuk pertanyaan paling atas.

    Udah 8 tahunan saya sejak pertama kali memutuskan jadi IRT, udah beragam cobaan saya alami.
    Pernah balik lagi kerja setahun, lalu resign lagi.

    Lalu sekarang udah punya 2 anak.
    Saya rasa, saya udah berhasil melewati kegalauan transisi jadi IRT, dan bismillah bisa dengan mantap menjawab ENGGAK JUGAAAAA... untuk pertanyaan di atas itu hahahaha.

    Iyaaa, dulu tuh saya baper kalau pak suami cerita tentang proyeknya, soalnya saya terkenang betapa jayanya saya kerja di proyek.

    Sekarang, udah biasa saja tuh, justru kalau pak suami nggak semangat kerja, saya semangati karena saya ogah balik kerja lagi hahaha.

    Udah terlalu nyaman jadi IRT, kalaupun ingin kerja, saya nggak mau lagi kerja kantoran, pengennya kerja dari rumah atau dari mana saja, jadi masih bisa mengontrol anak.

    Dan berdasarkan pengalaman saya, yang dulu resign tanpa pertimbangan, saya rasa kalau saya pertimbangkan mungkin saya nggak akan pernah bisa resign hahahaha.

    ReplyDelete
  8. Saya sendiri lagi mikir pengen resign di tempat kerja yang sekarang. Walau masuknya cuma 3 kali seminggu, tapi saya kasihan juga sama si kecil..karena dia selalu ikut saya ke tempat kerja. Mana panas pula :(

    Masih mikir sih..belum fix keputusannya..

    ReplyDelete
  9. Samaan kak, aku pun sedang posisi seperti kk, apalagi sekarang aku lagi hamil ke-2, ini hamilnya berasa capek banget, mabok banget.
    Jadi galaunya tambah parah, apa resign aja ya tapi ini belum ke bayar tapi itu tapi ini dsb.
    Klo kerjaan aku sih ga capek, santai banget yang bikin capeknya tuh perjalanan naik krl nya tau kan krl jabotabek kaya apa, masuk aja susah terus harus berjuang cari bangku prioritas.

    Ya jadi mari kita saling menguatkan kak, sampai tiba waktunya kitaa akan bisa membersamai anak dengan penuh waktu dan segenap perhatian.

    ReplyDelete
  10. Aku aja nyesel kak pas dulu pengen banget resign kerja dirumah tak seindah bayangan gitu kak...tapi ya udah lah namanya juga takdir harus di jalani dengan ikhlas...

    ReplyDelete
  11. aduh kak, aku mungkin 1 dari berjuta2 org diluar sana yg pengen cuma dirumah, tapi semua tercukupi. tapi bukannya masalah cukup itu adalah pekara rezeki ya kak. eh malah tetampar lagi lah klo ingat rezeki itu allah yg kasih .terus terus alasan apalagi yg buat kita bimbang . tapi kalau tdk mendesak kita harus dirumah aja, mungkin working not too complicated yakan buat para ibu diluar sana. ah ntahlah. aku pun galau kalau ngomongin pekara ini

    ReplyDelete
  12. Saya langsung teringat film "Rumput Tetangga" yang saya tonton di TV beberapa hari lalu, Mbak Devi. Ini sama persis, seorang Ibu Rumah tangga yang bermimpi jadi wanita pekerja. Tapi ada juga wanita pekerja yang mendambakan menjadi ibu rumah tangga dengan keluarga bahagia. Ya, seperti opening tulisan Mbak Devi, banyak orang membayang wanita pekerja itu mendapatkan banyak "kenikmatan". Sawang sinawang.

    Tapi menurut saya memang kembali lagi pada pilihan masing-masing. Dan apapun pilihannya, pasti ada rintangannya. Dan harus semangat....

    ReplyDelete
  13. Ibu bekerja oh ibu bekerja emang dilema semua ibu :D
    Jangankan yang kerja kantoram yang bekerja di rumah juga suka galau apakah msh perlu aktivitas di rumah sedangkan anak main sendiri hehe. Yg penting sih be brave dan selalu inget kalau udah memutuskan jd ibu emang ada tanggung jawab akhirat yang membebani. Yg penting sih bisa menyeimbangkan keduanya, Kalau omongan org mah cuekin aja hehe

    ReplyDelete
  14. betapa bimbangnya yg pastinya awal itu. Kisah ya hampir mirip dgn tetangga saya.. tapi ya gitu krn masih ada kebutuhan dan tanggungan jadi ada solusi. Keputusan tdk akan pernah salah kok mbk menurut saya, I asalkan bertanggungjawab dgn pilihan itu.

    ReplyDelete
  15. Menjadi ibu rumah tangga di rumah, sebenarnya ama saja dengan bekerja. Hanya saja, memang tidak seleluasa belanja seperti jika menghasilkan uang sendiri. Kalau boleh dibilang, sama saja sih dengan bekerja di kantor. Maksud saya, akan ada fase galaunya. Fase ingin resing (dalam hal ini memasuki dunia kerja kembali).

    Tantangan ibu bekerja juga sangat berat. Setelah menuntaskan pekerjaan yang mungkin tidak sampai 70% dinikmati, harus kembali ke rumah dan berdaster seperti lazimnya perempuan. Biasanya akan dihadapi dengan mulut tertekuk, padahal suami dan anak berhal akan senyum dan bahagia kita. Kalau ini terjadi, biasanya saya sarankan memikirkan kembali tujuan bekerja untuk apa.
    Bekerja di rumah atau bekerja di kantor

    ReplyDelete
  16. Dua2nya dah saya jalani mba devi.
    Dan saya lebih suka jadi stay at home mom ygvga galau urusan perduitan rmh tangga.
    Biar ayahnya aja yg jadi pencari nafkah.
    Etapi klo lagi ada kerjaan ya saya terima juga haha maruk ya..
    Alhamdulilah selama ini bisa kerja di rumah atau boyong anak kemanapun.

    Tapi teuteup saya pernah beberapa kali jenuh jadi irt ini. Dan merasa berdosa karena merasa jenuh.

    Nah lhoo...
    Bobok aja laaa

    ReplyDelete
  17. Istriku lagi coba test pns nih mbak. Sebelumnya full jd ibu RT setelah menikah. Tapi banyak rekan kerjaku yang ibu2 dan benar2 strong...luar biasa.

    ReplyDelete
  18. Saya justru resign setelah menikah mbak, 😁. Kalau suami resign juga dari Bank tempat dia bekerja, soalnya Riba. Alhamdulillah Allah Maha Baik yg selalu kasih rezeki dari sumber yg tak disangka2

    ReplyDelete
  19. Keadaan duaduanya pernah saya jalanin mba, dan akhirnya saya memilih untuk menjadi IRT dan bisa tetap produktif membantu ekonomi keluarga.

    ReplyDelete
  20. Saya tahu betapa ibu bekerja pun tetap galau makanya gak ikutan nyinyirin orang yang terpaksa kerja. Saudara sepupu saya banyak yang bekerja di luar rumah dengan beragam alasan, seperti uang.
    Dilema itu akan tetap ada dalam hidup. Bersabarlah, yang penting kualitas kebersamaan.

    ReplyDelete
  21. Yaa Allah, nangis aku bacanya Mak. Pasti tertekan banget ya ngalamin kondisi seperti itu.Semangat Mbak. Semoga Allah mudahkan segala urusan dan memberikan pilihan yang menggembirakan untuk semua.

    ReplyDelete
  22. aku masih kuliah dan belum bekerja. jadi aku masih awam dengan pengalaman resign, jadi takut itu kejadian sama aku nanti huhu

    ReplyDelete
  23. Cuma orang-orang yang hatinya dari kerdus bekas yang bilang bahwa working mom bukan ibu yang sesungguhnya karena gak 24 jam sama anak. Helaaawwwww..
    saya jadi mellow baca tulisannya mbak, ngerasain bgt itu rasanya kayak gimana...huhu

    ReplyDelete
  24. Kalo di daerah rumahku jarang ada working mom, ya begitulah, ya kembali lagi ke pilihan masing-masing. Thanks artikelnya ya mbak

    ReplyDelete