Pemimpin dan Orang Biasa : Perbedaan Sudut Pandang


Mamak termasuk orang yang cukup idealis. Selalu berpikir seharusnya begini, nggak boleh begitu. Cukup keras kepala jika ada sesuatu yang dirasa nggak masuk logika dan nggak suka dengan sesuatu yang cenderung dijadikan alasan untuk membenarkan suatu hal yang pada dasarnya memang salah. Beberapa orang kurang cocok dengan sifat mamak yang cenderung frontal kalau sudah menghadapi sesuatu yang kurang pas di hati. Padahal mamak mungkin hanya memandang dari sudut pandang mamak aja.

Lebih terasa saat mamak mulai menjadi karyawan salah satu perusahaan. Dimana mamak sempat berpikir mengapa pemimpin yang sering rapat digaji lebih tinggi daripada orang yang berpikir teknis pekerjaan sampai tengah malam? Sempat merasa jenuh dengan kondisi yang ada, apalagi dihadapkan juga dengan keluarga (suami dan anak-anak) yang sedang butuh banyak perhatian dari sosok mamak di rumah.

Dilema sempat mamak rasakan sampai mamak menyadari kalau Allah sedang memberi pelajaran hidup lanjutan. Awalnya mamak merasa disisihkan, dibuang, karena tidak bisa mengikuti pola kerja para atasan yang memaksa mamak harus di kantor hingga minimal jam 8 malam, sabtu minggu juga harus masuk demi memenuhi permintaan data untuk kebutuhan rapat para direksi dan pemegang saham. Lumayan menghasilkan tambahan finansial, namun ada hampa yang mamak rasakan karena merasa semakin jauh dengan anak-anak.

Dengan segala ketidaknyamanan, mamak mulai berpikir untuk mundur dari super sibuknya kerjaan di kantor. Apalah gunanya banyak uang dan karir bagus, jika mamak jauh dari keluarga. Kembali lagi ke tujuan mamak bekerja di luar rumah, untuk membantu suami, bukan jadi penghasil utama pundi ekonomi.
Namun apakah semua yang mamak pikirkan itu benar 100%?

Tergantung dari sudut mana orang memandang.

Sebagian berpikir kerja itu adalah ibadah dan harus ikhlas serta maksimal dalam melaksanakannya. Menghabiskan waktu bekerja di kantor sejak pagi hingga malam. Tetap bekerja di hari libur, itu adalah konsekuensi bekerja dan kewajiban yang harus dipikul sebagai karyawan yang telah digaji perusahaan. Tidak peduli laki-laki atau perempuan, saat sampai di kantor karyawan harus bisa meninggalkan kewajiban di luar kantor dan memaksimalkan pikirannya untuk bekerja.
Sebagian lagi berpikir kerja harus dapat dimaksimalkan di jam bekerja. Setelah selesai waktu bekerja, harus dapat melakukan aktivitas lain di luar kantor. Agar keseimbangan hidup tetap terjaga, namun tetap dapat bekerja sesuai jam yang sudah ditetapkan.

Yang mana yang benar?? Kembali lagi, dari sudut mana kita memandang.
Itu pilihan hidup. Ingin menjadi pemimpin atau orang biasa.
Keduanya tetap memungkinkan untuk bisa masuk surga, begitulah istilahnya.

Pemimpin, orang yang punya jabatan, adalah orang yang mendedikasikan hidup dan waktunya untuk maksimal bekerja. Kerja dengan waktu yang tidak terbatas. Rela menghabiskan waktu yang seharusnya bisa dihabiskan dengan keluarga untuk dapat memikirkan perusahaan tempat banyak orang menggantungkan harapan. Keputusannya dapat mempengaruhi hajat hidup orang banyak. Waktu kerjanya yang tidak terbatas jelas lebih membuat capek daripada karyawan biasa yang jam kerjanya sudah ditentukan. Wajar jika mereka digaji lebih tinggi kan?

Sementara karyawan biasa, seperti mamak misalnya, hanya cukup memikirkan kerjaan dengan ruang lingkup yang lebih kecil. Masuk jam 8 pagi dan pulang jam setengah 6 sore. Sesekali lembur itu biasa karena memang sudah kewajiban. Wajar juga dong gaji mamak jauh lebih rendah daripada para pemimpin tadi.

Iri??? Kalo mau gaji tinggi kayak pemimpin, coba saja bekerja keras agar jadi pemimpin. Mamak sekarang sih masih menikmati hidup sebagai karyawan biasa yang belum punya jabatan apa-apa. Tidak harus bekerja mati-matian dan melupakan waktu bersama keluarga, bekerja sesuai dengan kewajiban dan tanggung jawab semata. Yang lain boleh mengatakan kerja itu ibadah, tapi bagi mamak ada ibadah lain yang tidak boleh mamak tinggalkan. Keluarga yang dititipkan Allah ke mamak.

Menjadi pemimpin itu masih terasa sulit bagi mamak.
Kenapa? Karena pemimpin harus bisa memandang dari sudut yang lebih luas, helicopter view istilahnya. Banyak yang harus dipikirkan sebelum mengambil keputusan. Mamak yang sekarang bisa saja seenaknya bilang harusnya begini harusnya begitu. Namun seorang pemimpin tidak bisa begitu. Sebelum mengambil keputusan, ia harus dapat memandang dari berbagai sudut, kondisi yang ada, dampak dari keputusan yang akan diambilnya, dan masih banyak lagi. Salah sedikit saja, ia bisa merugikan banyak orang bahkan perusahaan. Ahhh,,, seperti susah sekali hidupnya. Wajar jika ia digaji tinggi bukan?

Apapun pilihannya, fokuslah pada pilihan kita sendiri. Pahami tujuan hidup kita. Jika sudah fokus pada diri sendiri, kita tidak akan punya waktu untuk mencari kekurangan atau aib orang lain, terlebih lagi mereka yang memilih menjadi pemimpin.

Semoga Allah senantiasa bersama kita apapun pilihannya karena apa yang kita lakukan di kehidupan pada hakikatnya adalah untuk mencari ridho Allah semata.

No comments

Post a Comment