|
photo : kiat-kita.blogspot.com |
Dua tahun lalu, sepulang dari
kantor, mamak memeriksa kondisi si bungsu yang demam sejak pagi. Demamnya tidak
terlalu tinggi. Sebelum berangkat, mamak sudah menginstruksikan khadimat untuk
memberikan paracetamol 4 jam sekali jika demamnya masih berlanjut dan perbanyak
minum air. Petang itu si bungsu masih demam, mamak mencari termometer untuk
memastikan suhu tubuhnya. Ketemu.. namun sudah tidak berfungsi lagi karena
sering dimainin anak-anak. Si ayah yang beranjak magrib ke masjid pun mamak
titipi untuk membelikan termometer di apotek setelah sholat. Khadimat berkata
paracetamol diberikan terakhir jam 2 siang, artinya sudah saatnya memberikan
kembali pada si bungsu karena demamnya mulai tinggi lagi.
Mamak berusaha untuk skin to skin contact dengan si bungsu,
tetap memberikan ASI sebagai asupan cairan untuk menurunkan suhunya. Tak lama
ia beranjak ke arah ayunan yang memang kami siapkan sebagai tempatnya
istirahat. Mamak pikir bisa segera wudhu dan sholat, namun melihat mamak
beranjak dari posisi duduk, dia langsung merengek dan minta dipangku dan
didekap kembali. Mamak coba mengerti kalau di saat anak sakit, dia akan menjadi
lebih manja. Mamak bersiap untuk memberinya ASI lagi.
Namun tiba-tiba tubuhnya kaku, bola
matanya ke arah atas, mulutnya mulai mengatup. Darah mamak seketika berdesir,
anak mamak kejang. Dia step. Allah….. mamak panik namun tetap berusaha berpikir
apa yang sebaiknya dilakukan. Mamak berteriak meminta khadimat mengambil
handuk, berjaga si bungsu menggigit lidahnya. Mamak terus menepuk-nepuk pipinya,
memanggil namanya berkali-kali. Ingin menangis karena tidak ada respon selama
1-3 menit. Nafas mamak serasa berhenti.
Nggak.. mamak nggak boleh diam
aja.
Langsung mamak buka legging dan kaos luarnya. Hanya tinggal popok dan kaos
dalam. Berharap panas di tubuhnya tidak mengendap karena pakaian. Mamak
langsung mengambil jilbab sambil tetap menggendongnya, lari ke rumah dokter
yang masih dalam satu komplek, jaraknya sekitar 200 meter. Nggak peduli harus
melewati masjid yang masih dipenuhi orang sholat magrib berjama’ah. Sambil
terus menepuk pipi si sulung, nafas mamak cukup tersengal menghadapi emosi yang
bercampur, takut, pengen nangis, pengen teriak, jantung deg-degan. Inikah
kejang demam yang sering aku baca itu ya Rabb? Dua anak sebelumnya, nggak ada
yang pernah mengalami kejang, walaupun pernah demam hingga 40an derajat
celcius. Namun yang ketiga ini, sepertinya demamnya tidak terlalu tinggi. Ternyata
cukup untuk membuat dia kejang.
Di jalan, si bungsu mulai
menangis. Ahh,, dia sudah mulai sadar. Alhamdulillah ya Rabb. Namun mamak tetap
berlari ke rumah dokter itu. Tanpa ragu, walaupun mamak tau masih waktunya
magrib, mamak meminta tolong sang dokter untuk memeriksa si bungsu. Beliau pun
langsung cek suhunya, melihat bola matanya, dan mengatakan masih terasa
kejangnya. Kebetulan obat anti kejang di kliniknya juga habis, mau diinfus, si
sulung juga masih memberontak. Akhirnya si sulung cukup diberikan air hangat
sambil terus menjaga kesadarannya. Dokter juga menyarankan mamak segera ke
rumah sakit agar mendapat perawatan dan diagnosa yang tepat.
Tak lama berselang, si ayah pun
datang karena sudah memiliki firasat tak enak karena kami tiba-tiba nggak ada
di rumah. Segera mengambil mobil, kami buru-buru ke rumah sakit. Si bungsu
masih bisa menangis di mobil. Sesampainya di rumah sakit, mamak langsung ke
UGD, dan si kecil tiba-tiba muntah di baju mamak. Lengkap sudah perasaan mamak
saat itu. Dokter langsung memeriksa si bungsu dan memberikan obat anti kejang
dari dubur, lalu menginfusnya. Ahhh… mamak mo nangis rasanya melihat si kecil
yang baru berumur setahun harus ditusuk jarum infus. Tapi apa daya, demi
kebaikannya mamak harus kuat.
Kejadian seperti mamak mungkin
akan dialami oleh mamak-mamak lainnya. Yang dibutuhkan sebenarnya adalah
berusaha untuk tenang dan berpikir tindakan terbaik yang bisa dilakukan.
Terkait kejang demam, dapat dibaca di tulisan dr. M. Muchlis, Sp.A yang mamak
ambil dari grup facebook Room For Children berikut.
Apa itu kejang demam atau ‘step’?
Kejang demam (KD) didefinisikan
sebagai suatu serangan atau bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu
tubuh anak (di atas 38 C suhu rectal), biasa terjadi pada bayi atau anak mulai
usia 6 bulan sampai 5 tahun dimana
penyebab demamnya adalah proses ekstra cranial (diluar penyakit atau infeksi
pada otak) dan terbukti tidak ada penyebab tertentu. Pada keadaan yang terakhir
anak demam kemudian kejang dan pasca kejang anak mengalami penurunan kesadaran.
Pada kejang demam anak setelah kejang kembali sadar seperti sedia kala, seperti
halnya anak mamak yang sempat menangis dan meminta minum kepada ibunya atau
kalau bayi kembali menetek ibunya.
Mengapa anak bisa KD?
Sampai saat sekarang belum
diketahui pasti mengapa anak utamanya yang dibawah 5 tahun dapat mengalami kejang
demam. Hipotesis ada yang menyatakan bahwa secara genetic ambang kejang pada
anak berbeda-beda dan ambang kejang tersebut akan turun pada kenaikan suhu.
Yang jelas ada 3 faktor yang berperan penting yaitu faktor suhu, infeksi dan
umur.
Apa gejala atau manifestasi klinis kejang demam?
Kejang demam biasa terjadi pada
awal demam, pencetusnya adalah cepatnya peningkatan suhu tubuh. Anak pada
mulanya menangis, kemudian tidak sadar, diikuti kaku otot (tonik) dan berlanjut
dengan kejang kelojotan (klonik), berulang, ritmik kemudian lemas dan tertidur.
Dapat juga didahului dengan mata yang mendelik ke atas dan mulut yang mengunci
rapat sampai bisa menggigit lidah anak. Bentuk kejang yang lain : langsung
gerakan sentakan berulang atau sentakan maupun kekakuan local (kejang fokal).
Lama kejang kebanyakan dibawah 5 menit, tapi pada sebagian kecil bisa sampai
15-30 menit. Pada kejang demam, pasca kejang anak tertidur dan bila dibangunkan
menangis dan sadar.
Apa penanganan/pengobatan yang dilakukan pada anak dengan kejang demam
?
Seandainya kejang demam terjadi
dirumah, orang tua diharapkan tetap tenang, apabila mulut sang anak mengunci
rapat sampai mengigit lidah, bisa diberikan pengganjal pada mulutnya dengan
sendok yang dibalut kain atau bantalan apa saja yang empuk. Longgarkan semua
pakaian yang ketat, kompres hangat untuk membantu menurunkan suhunya (jangan
lagi pakai kompres dingin atau alkohol).
Umumnya kejang berhenti sendiri,
tapi bila kejang harus segera diberikan anti kejang (anti konvulsan)
secepatnya. Kalau dirumah bisa diberikan anti kejang yang berbentuk rectal tube
dimana obat tersebut disemprotkan ke dalam anus, satu hal yang bisa dikerjakan
oleh orang tua. Di klinik/IGD dokterpun sering menggunakan obat anti kejang
yang berbentuk rectal tube, karena mudah dan praktis ketimbang obat yang harus
disuntikkan. Setelah kejang teratasi dilanjutkan dengan pemberian obat penurun
panas sesegera mungkin, lagi-lagi yang diberikan lewat anus (seperti proris
supp, propyretic supp atau dumin supp). Pemberian obat lewat anus pada saat
pasca kejang dianjurkan karena anak biasanya tertidur ditambah lagi dengan efek
obat anti kejang yang membuat anak mengantuk (efek sodasi). Bila demam tinggi
sekali (hiperpireksia) apalagi sebelumnya anak diare atau muntah, anak harus dirawat
dan dipasang infus untuk masukkan cairan maupun obat selanjutnya.
Sebagian besar anak dengan kejang
demam bisa dipulangkan dan berobat jalan. Sewaktu pulang orang tua dibekali
obat panas umumnya golongan parasetamol (sanmol, panadol, tempra, dumin dsb)
atau golongan ibuprofen (proris, fenris, bufect dsb) yang ditambah juga dengan
obat pencegah kejang (diazepam).
Sejak saat itu, mamak selalu sedia stesolid rectal di kulkas untuk
berjaga-jaga jika step berulang, dan khusus untuk di sulung, sejak awal
terdeteksi demam, mamak akan langsung memberi paracetamol agar tidak sempat
kejang lagi. Alhamdulillah setelah dua tahun berlalu, tak ada kejang/step. Dan
tidak ada tanda-tanda negatif sebagai efek dari kejang sebelumnya di anak
mamak.